Cari Blog Ini

Senin, 12 November 2012

Tak Sekedar Fiksi, namun Dokumentasi atas Novel Orang-Orang Proyek

Begitu menarik dan tak ada habisnya ketika mengkaji ataupun mengkritisi sebuah karya sastra dengan pisau analisis pendekatan sastra yang ada. Karya sastra ini tak akan lekang termakan oleh waktu, karena sejatinya karya sastra tidak timbul serta merta dari imajinasi pengarang ataupun penyairnya, akan tetapi lebih dari itu sebuah karya sastra timbul dari pengalaman batin maupun lahir penggoresnya dalam realitas sosial masyarakat. Berbagai macam karya sastra mulai dari puisi, cerpen, novel maupun naskah drama masing-masing memiliki karakteristik dan juga daya pikat yang hebat terhadap peminatnya. Karya sastra-karya sastra tersebut terus berkembang selaras dengan zaman yang terus berkembang tak terbendung. 

Ada hal yang menarik ketika menikmati novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Orang-Orang Proyek. Nampaknya ada hal yang mampu memikat pembaca untuk tidak sekedar membaca sinopsis jalan cerita di cover belakang. Kegelisahan pembaca ini mau tidak mau membawa pembaca harus mengakhirinya dengan membaca keseluruhan cerita dalam novel ini. Ahmad Tohari mampu menyajikan kritik-kritik politik yang cerdas melalui novel-novel karyanya jika dikaji dengan intertekstual. Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks(lengkapnya:teks kesastraan) yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)bahasa, dan lain-lain, diantara teks-teks yang dikaji (Nugiyantoro, 2010:50). Kesamaan unsur-unsur tersebut terdapat seperti halnya dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah dan lain sebagainya, nampak keberpihakan kepedulian terhadap rakyat. Dalam rajutan cerita Orang-Orang Proyek, Tohari mampu mencerdaskan pembaca dengan tokoh intelektual yang merakyat dengan hadirnya sosok Kabul, seoarang insinyur teknik muda yang memiliki idealisme yang tak ingin mengotori keinsinyurannya. Perwujudan dari tekadnya itu adalah dengan mengabdi pada rakyat. 



Sekilas Rajutan Cerita 
Orang-Orang Proyek mengkisahkan perjalanan hidup seoarang insinyur muda bernama Kabul. Setelah ia lulus dari Fakultas Teknik, ia mendapatkan sebuah proyek untuk membangun jembatan di sungai Cibawor, desa Cibawor. Diceritakan pembangunan jembatan ini adalah pada tahun 1992. Sedikit keluar pada konteks cerita, ketika dikaitkan dengan Indonesia pada masa itu, era yang berkuasa adalah era Orde Baru. Pada masa itu pemerintah sedang giat-giatnya melancarkan aksi pembangunan, tak heran ketika itu Soeharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan. Dengan partai penguasa pada masa itu yaitu partai Golongan Karya, sudah menjadi tradisi ketika pejabat pemerintahan dan juga segala pendukungnya harus menjadi kader partai itu. Kembali dalam cerita novel ini, kabul hidup dalam masa persis seperti keadaan Indonesia pada tahun 90an tersebut. 

Kabul merasa mengembara dalam kepalsuan ketika ia dihadapkan pada kasus korupsi, kolusi maupun nepotisme yang menggerogoti tiap sendi kehidupan. Bahkan pembuatan jembatan yang seharusnya mampu dibangun semaksimal mungkin dengan anggaran dana yang ada masih harus dipotong sana-sini untuk hal yang seharusnya tidak terjadi. Pembangunan jembatan ini diperparah dengan adanya kepentingan politik yang mendomplengi pembangunan jembatan ini. Hal yang paling kentara adalah pembangunan jembatan ini harus selesai tepat bersamaan dengan agenda kampanye partai politik yang berkuasa kala itu, yakni partai Golongan Lestari Menang. Hal itu makin diperparah dengan harus dipotongnya anggaran pembuatan jembatp;an untuk pembangunan masjid, yang niatnya hanya nantinya untuk shalat jumat pejabat-pejabat yang hadir. Ketimpangan juga terjadi ketika besi-besi rancang tidak sesuai dengan perencanaan, yakni besi bekas. Tidak hanya besi bekas saja, akan tetapi pasirpun tidak sesuai dengan kualias yang diharapkan. 

Dalam keadaan tekanan dari Pak Dalkijo, yaitu atasaanya yang mengorbankan hak rakyat untuk membuat jembatan yang seadanya. Dalkijo selalu saja mendektenya dengan berbagai hal, mulai dari target jadinya jembatan, bahan baku, pemotongan anggaran yang semua itu demi kepentingan partai politik dan juga penguasa. Kabul merasa tertekan, hingga pada akhirnya karena ia tdak mau mengotori keinsinyurannya dan juga mengorbankan hak-hak rakyat, Kabul mundur dari pekerjaanya tersebut. 

Pada akhir cerita, diceritakan kabul menikah dengan Wati, seorang patner kerjanya dalam pembuaan proyek jembatan tersebut. Selang setahun, kabul ingin berlibur dirumah mertuanya. Alangkah kagetnya ketika ia akan melintasi jembatan yang telah diresmikan setahun silam, jembatan yang telah ditinggalkanya karena permasalahan prinsip yang tak mau mengorbankan kualitas jembatan demi hak-hak rakyat, ternyata jembatan itu telah rusak. Hingga ia hanya bisa menghela nafas, dan berpikir jika saja pengerjaan jembatan itu memperhatikan apa yang disarankannya untuk dibangun setelah musim penghujan dan juga tidak ada potongan anggaran disana-sini serta kualitas material bangunan yang seperti mestinya, pasti jembatan itu akan tetap megah berdiri dan menjadi kebanggaan desa Cibawor dan juga kepuasan batin dirinya karena telah mampu menciptakan karya yang mampu dinikmati oleh semua orang. 

Realitas Sosial 
Ketika membaca novel ini sangat kental akan realitas sosial masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru. Kala itu kekuasaan Orde Baru mampu merenggut kebebasan dalam semua lini sendi-sendi kehidupan. Bukan hal itu saja, kekuasaan yang berkuasa 33 tahun di bumi Indonesia ini juga mampu menghadirkan permasalahan yang sangat kompleks, sebut saja KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Kepentingan partai penguasa pada masa itu menjadi hal yang didewakan demi sebuah kekuasaan. Pada akhirnya Orde Baru menjadi sebuah sistem yang sudah terintegrasi untuk tetap menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengacuhkan rakyat Indonesia, terlebih lagi golongan rakyat kecil. 

Berbekal permasalahan dinamika politik yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Ahmad Tohari mampu peka hingga secara cerdas ia ingin menggugah rakyat Indonesia dengan Novel yang ia tulis, yakni Orang-Orang Proyek. Disana secara sadar Tohari mampu menyajikan kritik-kritik politik secara halus, sehingga pembaca seakan mampu merasuk dan kembali mengkritisi akan masa itu yang seakan sekarang terlupakan. Melalui novel tersebut pembaca mampu berpikir kritis dan mampu bertindak bagaimana mestinya. 

Kejeliaan Tohari dalam mengkontruksi novel ini menjadi sebuah duplikat keadaan Indonesia pada masa 90an, tepatnya Orde Baru, adalah sebuah sikap kegelisahan Tohari sebagai seorang sastrawan yang bersikap bijak dengan karyanya. Novel yang ia cipta mampu berangkat dari realitas sosial yang ada, sehingga mampu menjadi dokumentasi sejarah, bukan semata-mata dokumentasi fiksi. Novel ini menjadi sangat jelas ketika dikaji dengan pendekatan Sosiologi Sastra. Pendekatan sosiologi Sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan (Wiyatmi, 2006:97) 

Dengan pendekatan Sosiologi Sastra secara gamblang terlukis jelas bahwa Orang-Orang Proyek tidak lantas sebuah novel yang benar-benar fiksi semata. Namun terdapat kaitannya dengan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat. Dalam hal ini adalah relitas rezim Orde Baru yang berkuasa di Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi nilai lebih dibandingkan dengan novel-novel lainnya, karena dalam novel ini pembaca diajak seolah ikut dalam rajutan jalinan ceritanya. Kemudian setelah pembaca mampu larut, umpan baliknya adalah pembaca menjadi kritis terhadap masalah-masalah sosial terlebih lagi politik di Indonesia. Pada akhirnya novel ini menjelma menjadi novel yang layak dibaca oleh semua orang, karena mampu memberikan refleksi kepekaan terhadap perbaikan negeri ini. 


Arda Sedyoko 
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar